KafeBerita.com, Blitar — Polemik antara ojek online (ojol) dan ojek pangkalan (opang) di Kota Blitar kini memasuki fase baru yang lebih konstruktif. Dalam dialog terbuka bersama driver ojol yang demo di depan kantor Pemkot Blitar pada Senin (1/12/2025), Wali Kota Blitar Syauqul Muhibbin atau Mas Ibin terbersit pendekatan kebijakan transportasi yang inklusif. Itu sejalan misi Mas Ibin Smart City, yang memastikan Pemerintah Kota (Pemkot) Blitar tidak hanya memfasilitasi ojol, tetapi juga membantu opang agar mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi.
Mas Ibin menyatakan bahwa isu “zona merah” yang menjadi inti protes bukan berasal dari regulasi pemerintah. Ia menekankan bahwa pembatasan wilayah tersebut merupakan kesepakatan internal antara opang dan ojol. “Dan zona merah itu sebenarnya dasarnya adalah perkatan antara teman-teman ojek pangkalan dan ojek online. Sebetulnya pemerintah tidak pernah ya membuat aturan tentang zona zona merah itu,” jelas Mas Ibin usai menemui massa pendemo.
Pemerintah kini mengarahkan fokus pada integrasi dua model transportasi tersebut. Mas Ibin menyampaikan bahwa bukan hanya ojol yang harus memahami regulasi, tetapi opang juga perlu dibantu agar tidak tertinggal dalam transformasi digital. “Maka dari itu tadi kita urai bagaimana tata kelola agar semuanya transportasi tetap bisa melayani baik yang offline maupun online,” ujarnya.
Lebih jauh, Mas Ibin menekankan aspek human-centered policy, di mana pemerintah mengambil posisi sebagai fasilitator penyetaraan kemampuan digital. “Kesepakannya kami akan minta teman-teman yang belum mengerti teknologi untuk diajari dan bahkan kami akan mencoba memfasilitasi teman-teman yang belum bisa beralih ke teknologi,” kata Mas Ibin.
Ia meyakini bahwa ketika transportasi, baik offline maupun online, berada dalam ekosistem yang seimbang, hal ini akan berpengaruh pada daya tarik kota sebagai pusat aktivitas ekonomi dan sosial. “Jadi kalau transportasi aman-aman, masyarakat pengunjung kota Blitar bisa gunakan dengan baik, maka perekonomian Kota Blitar otomatis akan naik ya, karena dapat kedatangan banyak wisatawan, pedagang dan sebagainya,” ujarnya.
Di sisi lain, perwakilan driver ojol Edwin Agus Suhendra menegaskan kembali bahwa tuntutan utama adalah penghapusan zona merah agar tidak ada diskriminasi operasional. “Kita sebenarnya hanya meminta untuk zona merah itu dihilangkan sama kita nomor duanya kita minta kebijakan dari pemkot tentang masalah parkir,” ungkap Edwin.
Ia menjelaskan keluhan teknis lapangan yang berulang dialami para driver dalam menjalankan tugas harian mereka. “Biasanya kita itu kan kerja berdasarkan suruhan orang, lha kalau misalnya kita disuruh belikan makanan nanti kita diparkir, ongkosnya berapa kita itu,” ucapnya. Zona merah di beberapa titik strategis seperti stasiun dan terminal menjadi hambatan utama. “Tapi tuntutan utamanya yaitu masalah zona merah. jadi yang paling utama itu ada di stasiun sama terminal ya,” sambung Edwin.
Misi Smart City yang digaungkan Mas Ibin mengambil pendekatan transformasi digital yang tidak menciptakan jurang antara mereka yang mampu beradaptasi dan yang tertinggal. Ojek pangkalan bukan dilihat sebagai kelompok lama yang harus kalah oleh modernitas, tetapi sebagai bagian dari ekosistem transportasi yang perlu dibantu naik kelas.
Dengan model kepemimpinan yang turun langsung ke lapangan, berbicara tanpa jarak, dan memberi sinyal kuat bahwa semua pihak adalah warga yang setara di mata kebijakan publik, Mas Ibin kini membangun citra Kota Blitar sebagai kota yang memanusiakan teknologi, bukan sebaliknya.
Kini bola berada di tangan Pemkot Blitar tentang bagaimana mengubah dialog terbuka pada hari itu menjadi kebijakan operasional yang mampu mencairkan friksi horizontal, memastikan keadilan akses, dan menciptakan mobilitas urban yang ramah bagi semua.












