KafeBerita.com, Blitar – Kabupaten Blitar memasuki tahun anggaran 2026 dengan alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau atau DBHCHT sebesar Rp18,7 miliar. Jumlah ini menempatkan Blitar pada posisi kelas menengah dalam peta penerimaan DBHCHT di Jawa Timur. Situasi ini sekaligus membuka potret kesenjangan yang sangat tebal antara daerah penerima besar dan daerah penerima menengah ke bawah.
Cabang fiskal ini menarik untuk dianalisis karena DBHCHT tidak dibagikan secara merata, tetapi mengikuti kontribusi masing masing daerah dalam ekosistem tembakau. Kabupaten Pasuruan menerima porsi paling besar senilai Rp224,6 miliar. Lalu Kabupaten Malang menerima Rp88,6 miliar dan Kabupaten Jember Rp65,3 miliar. Ketiga daerah tersebut menjadi pusat utama penerimaan. Jika diumpamakan sebagai kompetisi, mereka berada di podium juara tanpa ada yang mendekati.
Kabupaten Blitar sendiri mengalami penurunan signifikan dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2025, total DBHCHT yang diterima mencapai Rp36,2 miliar. Untuk tahun 2026, pagunya turun menjadi Rp18,7 miliar. Kondisi ini sudah dikonfirmasi oleh Kabag Perekonomian Setda Kabupaten Blitar, Badrodin.
“Ya mas (turun), untuk tahun 2026 menjadi 18,7 miliar,” kata Kabag Perekonomian Setda Kabupaten Blitar, Badrodin, Rabu (3/12/2025).
Penurunan itu berarti Pemkab Blitar berjalan ke fase efisiensi. Program yang sebelumnya bisa dibiayai dengan porsi besar, kini harus dijalankan dengan skala prioritas. Ini berdampak pada desain program sepanjang 2026. Di tahun 2025, pemanfaatan DBHCHT Rp36,2 miliar dibagi ke dalam tiga sektor utama. Komposisinya lima puluh persen untuk kesejahteraan masyarakat, sepuluh persen untuk penegakan hukum, dan empat puluh persen untuk bidang kesehatan. Struktur ini mengikuti aturan PMK yang berlaku pada tahun tersebut.
Blitar tidak sendiri dalam kelompok nilai menengah. Beberapa kabupaten seperti Banyuwangi, Lumajang, Magetan, Pacitan, Bangkalan, dan Kota Blitar berada dalam rentang angka yang sangat berdekatan di sekitar Rp16 sampai Rp19 miliar. Data ini menunjukkan adanya kelompok middle cluster, yaitu daerah dengan basis tembakau yang ada tetapi tidak dominan secara historis atau ekonomis.
Lalu ada kelompok sub prime. Kelas ini berada di atas Blitar tetapi bukan dari golongan penerima raksasa. Misalnya Kabupaten Lamongan dengan Rp40,7 miliar. Kabupaten Jombang Rp39,8 miliar. Bondowoso Rp34,1 miliar. Pamekasan Rp59,4 miliar. Dan Probolinggo Rp50,4 miliar. Kelompok ini menjadi penyangga antara penerima mid tier dan elite tier.
Kemudian terlihat pola yang sangat jelas dan konsisten di seluruh data. Daerah kota relatif rendah penerimaan DBHCHT. Kota Blitar menerima Rp17,4 miliar. Kota Madiun Rp16,7 miliar. Kota Mojokerto Rp16,7 miliar. Kota Pasuruan Rp16,7 miliar. Kota Batu Rp16,7 miliar. Ini bukan kebetulan. Kota merupakan wilayah administratif yang cenderung tidak memiliki area pertanian tembakau atau basis industri pengolahan hasil tembakau yang signifikan.
Jika kita tarik garis kesimpulan dari data ini, DBHCHT bukan sekadar angka bagi hasil. Ia adalah representasi kondisi ekonomi struktural tembakau. Di mana ada produksi, di situ ada kompensasi. Kabupaten Pasuruan, misalnya, menjadi magnet karena keterlibatan besar dalam aktivitas industri tembakau. Kabupaten Malang pun demikian. Sedangkan Blitar masih berada pada tingkat partisipasi moderat.
Dari sudut pandang strategi anggaran daerah, Pemkab Blitar perlu menyesuaikan pendekatan kebijakan. Penurunan menjadi Rp18,7 miliar mengharuskan program program bantuan sosial bagi buruh tembakau, layanan kesehatan bagi masyarakat, serta peningkatan kualitas tenaga kerja difokuskan secara efektif. Blitar harus memilih sasaran yang sempit tetapi berdampak besar.
Dengan kata lain, DBHCHT 2026 mengungkap realitas. Ada kesenjangan besar antar daerah. Ada kelas elite penerima. Ada kelas menengah penerima seperti Blitar. Dan ada kelas minor penerima yang didominasi wilayah kota.
Kabupaten Blitar berhadapan dengan fase pengurangan dana, tetapi bukan berarti ruang geraknya mati. Tantangannya ada pada kemampuan tata kelola. Jika program berbasis bukti, pelaporan transparan, dan sasaran tepat, Blitar berpeluang meningkatkan posisi fiskalnya di tahun tahun berikutnya. Tidak perlu berebut menjadi seperti Pasuruan. Cukup membuktikan bahwa pemanfaatan dana kecil pun bisa menciptakan dampak nyata bagi masyarakat, terutama buruh tembakau dan pekerja rantai pasokan yang selama ini berada di lapisan ekonomi rentan.










