KafeBerita.com, Blitar – Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 300 persen di sejumlah desa di Kabupaten Blitar kembali menuai sorotan tajam. Pengacara Haryono, S.H., M.H., pemilik Kantor Hukum Haryono & Partners, menilai kebijakan tersebut tidak hanya memberatkan masyarakat, tetapi juga mencerminkan ketidaksiapan sistem administrasi pajak daerah.
Di Kabupaten Blitar, penerapan Sistem Manajemen Informasi Objek Pajak (Sismiop) belum rampung sepenuhnya. Hingga saat ini, masih ada sekitar 40 desa yang belum masuk ke dalam sistem, sehingga banyak data objek pajak tidak tercatat secara konsisten. Belum lagi tata pelaksanaan Sismiop yang tak libatkan langsung masyarakat memperparah kondisi pajak yang harusnya berkeadilan, tapi membunuh rakyat kecil secara diam-diam.
Haryono menegaskan, pihaknya menerima banyak aduan dari masyarakat akibat lonjakan pajak yang tidak rasional. “Kami menerima banyak keluhan dari masyarakat di desa-desa tertentu terkait kenaikan PBB yang tidak masuk akal. Angka kenaikan 300% ini sangat memberatkan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah di lokasi tersebut,” tegasnya.
Menurut Haryono, sistem Sismiop yang seharusnya menjadi alat validasi dan penertiban pajak malah beroperasi seperti “mata buta”. Pasalnya, penerapan sistem tersebut tidak melibatkan rakyat secara langsung dalam proses penentuan nilai objek pajak. Akibatnya, kondisi ekonomi warga yang masih rapuh, sama sekali tidak dipertimbangkan ketika tagihan PBB melonjak drastis.
“Walaupun kenaikan ini hanya terjadi di beberapa desa, kami tegaskan bahwa kebijakan ini berpotensi memicu gejolak sosial yang lebih luas. Pemerintah harus peka, jangan sampai ketidakpuasan di satu wilayah menjadi pemicu kegaduhan di masyarakat Blitar secara keseluruhan,” ujarnya.
Haryono mendesak agar Bupati Blitar segera turun tangan dengan langkah konkret, bukan sekadar menyerahkan perhitungan pada data administratif. Ia menilai, membatalkan kenaikan PBB di wilayah terdampak adalah langkah paling tepat untuk meredam keresahan.
“Kami berharap Pemerintah Kabupaten Blitar dapat mengambil langkah bijak dan memprioritaskan kesejahteraan masyarakat dengan membatalkan kenaikan PBB tersebut di wilayah yang terdampak,” tandasnya.
Sementara itu, Kepala Bapenda Kabupaten Blitar Asmaning Ayu sebelumnya mengklaim bahwa kenaikan PBB tahun 2025 secara total hanya sebesar 1,48 persen. “Jika dilihat dari ketetapan PBB 2024 yang sebesar Rp 49,09 miliar, pada 2025 memang ada peningkatan, tetapi jumlahnya hanya Rp 702,9 juta atau setara 1,48 persen,” katanya.
Namun, klaim angka makro tersebut semakin dipertanyakan ketika fakta di lapangan menunjukkan bahwa sistem Sismiop belum terintegrasi penuh. Ketidaksiapan administrasi ini membuat kebijakan kenaikan PBB rawan timpang, karena tidak mencerminkan kondisi ekonomi nyata warga yang dibebankan pajak.
Jika pembenahan sistem tidak dilakukan, kebijakan PBB di Kabupaten Blitar berpotensi menjadi preseden buruk: alih-alih memperbaiki penerimaan daerah, justru menciptakan ketidakadilan fiskal yang mencederai rasa keadilan rakyat.